KATA BIJAK HARI INI

24 September 2006

Era Transisi Bangsa Indonesia

Bangsa merupakan komunitas politis dan dibayangkan sebagai sesuatu yang
bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan. Walaupun merupakan sesuatu yang imajiner, kesamaan latar belakangnya membuat komponen-komponen masyarakat dalam suatu bangsa mempunyai ikatan atau hubungan yang erat yang kemudian melahirkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang idealnya berjalan sesuai dengan harapan semua pihak.
Bangsa Indonesia sendiri yang secara resmi merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 telah melalui banyak rintangan dalam menjalani kemerdekaannya sampai hari ini. Kehidupan berbangsa dan bernegara yang kita harapkan masih jauh dari realita yang ada. Berbagai era dan masa telah berganti sejak kemerdekaannya, namun masyarakat Indonesia masih jauh dari keadilan dan kemakmuran. Salah satu era yang paling lama bergulir adalah era orde baru.
Hukum tampaknya telah dijalankan selama orde baru.Namun ketidakadilan, mafia KKN, dan kebocoran berjalan berdampingan secara damai dengan hukum. Pembangunan fisik banyak dilaksanakan. Tetapi kemiskinan, pengangguran dan kebodohan seolah diberantas bersama pembangunan. Ternyata pembangunan Orde Baru tidak berjalan sesuai nilai kebenaran, melainkan hanya pembenaran. Akibatnya Orde Baru runtuh bersama hancurnya moral dan tumbuh era Reformasi.Perjalanan delapantahun Reformasi telah membawa sistem nilai terpecah-belah dan berantakan tanpa terkendali. Kini bangsa Indonesia sedang mengalami proses transisi demokrasi, benar-benar dalam situasi kritis, karena berada di persimpangan jalan keselamatan atau kehancuran. Masyarakat kita tampaknya sedang terjerumus pada situasi ketidakpastian moral (indeterminancy of moral). Bagi masyarakat umum batas antara benar-salah, baik-jahat dan moral-amoral semakin kabur dan simpang-siur. Kita berada pada suatu keadaan garis abu-abu moral atau pada satu titik ambiguitas moral, ketika perahu penyelamat, yaitu keluarga dan agama terguncang dengan hebatnya.Dalam kondisi demikian, masyarakat tidak lagi mengindahkan anjuran atau imbauan moral dari pihak berwenang (terutama penguasa), karena mereka justru sering mempercontohkan tindakan-tindakan melanggar moral. Seakan-akan kita berada pada suatu lingkungan aneh yang tidak memiliki nilai tata krama sosial budaya. Untuk itu perlu gerakan pembebasan nilai, karena nilai-nilai tersebut dianggap telah distorsi atau dicemari oleh para elite politik sendiri.
Bila proses transisi ini tidak dapat kita lalui dengan baik, demikian sosiolog Imam Prasodjo, ancaman yang kita hadapi tidak saja proses disintegrasi bangsa (lepasnya wilayah tertentu dari negara), tetapi yang lebih mengkhawatirkan adalah kemungkinan terjadinya proses disintegrasi sosial atau hancurnya social bond (kerekatan sosial) dalam masyarakat. Bila social bond hancur, akan tumbuh social distrust (iklim tidak saling mempercayai) di antara kelompok-kelompok sosial, sehingga kelompok satu dengan yang lain dalam masyarakat akan saling curiga, saling bermusuhan atau bahkan saling berupaya meniadakan. Dalam situasi ini, menurut Imam Prasodjo, tawuran massal gaya Thomas Hobbes, war of all against all, bukan lagi menjadi khayalan.
Situasi yang penuh pertentangan diantara masyarakat itu dinamakan state of nature dimana manusia saling bersaing dan berkompetisi tanpa aturan dan ketiadaan hambatan atau restriksi untuk mendapatkan apa yang diinginkannya, bahkan jika perlu membunuh dan penghalalan segala cara lainnya atau paling tidak menguasai orang lain. Pada keadaan ini, manusia dipandang sebagai serigala yang saling berkelahi untuk mendapatkan kebebasan atau makanan bagi dirinya. Jadi aturan yang adapun hanya dipergunakan agar tidak terjadi tindakan yang mungkin menghancurkan diri sendiri atau dalam bahasa lain "…..Suatu proses untuk memperoleh apa yang kita kehendaki ataupun mengelakkan apa yang tidak kita sukai." Bagi Hobbes, cara yang paling efektif untuk menghentikan situasi itu adalah dengan menciptakan suatu pemerintahan yang kuat agar mampu melakukan represi dan menegakkan aturan. Sosok pemerintah yang kuat itu digambarkan sebagai Leviathan, makhluk yang menyeramkan dari lautan dan setiap orang menjadi lemah dan takut berhadapan dengannya. Dengan itu, masyarakat dapat ditertibkan dan dikendalikan. Uniknya, sosok itu sendiri dibutuhkan oleh masyarakat yang saling berkelahi itu untuk menciptakan ketertiban. Dalam nada yang lebih positif, John Locke menggambarkan situasi yang mendorong manusia untuk melakukan kesepakatan diantara mereka sendiri untuk mengadakan badan sendiri yang mempunyai kekuasaan politik. Kedua pemikir ini dipandang sebagai peletak dasar teori-teori kontrak sosial yang populer di dalam alam pikiran Barat.
Pertarungan kekuasaan antar elite politik yang terjadi di negara kita ini , telah menyeret kehidupan berbangsa dan bernegara kedalam kekalutan, ketegangan dan krisis berkepanjangan. Indonesia sedang mengalami pembusukan (decaying), bukan hanya political decay tapi juga social-economic decay. Modal politik (political capital) hancur berkeping-keping akibat konflik para elite yang terkesan tidak tahu diri dan irasional. Modal ekonomi (economic capital) meleleh akibat ketidakberesan dan ketidakmampuan para pengambil keputusan maupun kepemimpinan nasional dalam mengelola perekonomian, sedangkan modal sosial (social capital) tergerus habis akibat krisis kepercayaan dari masyarakat terhadap para pemimpin nasional yang ada.
Kita saat ini memerlukan seorang pemimpin yang ikhlas dan komit untuk berkorban dalam semangat jihad (menurut keyakinan Islam) untuk membangkitkan spirit, aktivisme dan intelektualisme beserta segenap sumber daya rakyat dalam menyelamatkan reformasi total yang pada hakekatnya adalah menyelamatkan bangsa dan negara.
Pemimpin-pemimpin kita sebelumnya telah menyia-nyiakan kesempatan sejarah (historical opportunity) untuk mengimplementasikan enam visi reformasi yang sudah dipertaruhkan jutaan rakyat, mahasiswa dan kaum muda dengan darah dan airmata. Pemimpin-pemimpin kita tersebut ternyata sangat lembek, penuh intrik, saling sikut dan sarat pertarungan kepentingan (conflict of interest). Ujungnya adalah perebutan kekuasaan dan uang, dengan cara mendayagunakan "konstitusionalisme" sebagai senjata legal formal untuk mempertahankan atau menjatuhkan kekuasaan.
Walaupun telah diruntuhkan pada tahun 1998 oleh revolusi yang dilakukan oleh mahasiswa, ternyata orde baru masih menyisakan ekses-ekses rezim Orbarian yang mencekam. Indonesia telah dinobatkan Transparency International dan PERC serta lembaga internasional lainnya sebagai negeri KKN dan negara paling korup di dunia. Agenda reformasi ditelikung para politisi, pejabat, pengusaha dan kaum profesional yang sudah mengalami demoralisasi.
Melihat hal ini, langkah yang perlu kita rencanakan dan gulirkan selagi bangsa kita belum terlalu terpuruk lebih jauh adalahmembangkitkan dan memantapkan kembali dengan menuangkan konsep Indonesia Baru menuju masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.

No comments: