Aan Najib
Catatan Awal
Shifting Paradigms adalah istilah yang cocok untuk menggambarkan terjadinya dimensi kreatif pikiran manusia dalam bingkai kefilsafatan. Shifting Paradigms merupakan letupan ide yang merangsang timbulnya letupan ide-ide yang lain, yang terjadi terus-menerus, sambung menyambung, baik pada orang yang sama maupun orang yang berbeda. Reaksi berantai ini pada akhirnya menjadi kekuatan yang bisa merubah wajah dan tatanan dunia serta peradaban manusia ke arah suatu "kemajuan".
Kalau dalam wacana metafisika, perubahan paradigma yang ada cukup merepotkan kita untuk memahaminya, maka dalam wilayah epistemologi akan lebih ruwet lagi, karena epistemologi selain merupakan bagian dari filsafat sistematis, memerlukan riset, juga menjangkau permasalahan yang membentang luas seluas jangkauan metafisika itu sendiri.
Sebagaimana metafisika, epistemologi pun bisa dipetakan ke dalam epistemologi positivistik, epistemologi rasionalistik, epistemologi phenomenologik dan lain sebagainya yang mempunyai struktur dan logika masing-masing.
Dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan (epistemologi), paradigma epistemologi positivistik telah merajai bidang ini, tetapi sekitar dua atau tiga dasawarsa terakhir ini, terlihat perkembangan baru dalam filsafat ilmu pengetahuan. Perkembangan ini sebenarnya merupakan upaya pendobrakan atas filsafat ilmu pengetahuan positivistik yang dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Thomas S. Kuhn, Paul Feyerabend, Norwood Russel Hanson, Robert Palter, Steven Toulmin serta Imre Lakatos. Kuhn juga mengkritik doktrin-doktrin filsafat tertentu seperti Baconian, pandangan tentang verifikasi, falsifikasi, probabilistik, penerimaan dan penolakan teori-teori ilmiah.
Apa yang disebut dengan filsafat ilmu baru ini dimulai dengan terbitnya karya Kuhn The Structure of Scientific Revolutions. Tulisan ini mempunyai arti penting dalam perkembangan filsafat ilmu, tidak saja karena keberhasilannya membentuk dan mengembangkan wacana intelektual baru dalam filsafat ilmu, tetapi juga kontribusi konseptual yang memberi insight dalam berbagai bidang disiplin intelektual dengan derajat sosialisasi dan popularitas yang jarang dapat ditandingi. Banyak ilmuwan, kata Barbour, merasa at home dengan karya tersebut, karena ia seringkali memberikan contoh konkrit dari sejarah sains dan tampaknya mendeskripsikan sains sebagaimana mereka mengetahuinya, dan mengundang sikap kritis terhadap disiplin ilmu yang ditekuni.
Dalam hal apa dan bagaimana karya Kuhn memberi pencerahan intelektual, secara epistemologis menjadi penting untuk dijawab. Terlepas dari keterkaitannya dengan sains-sains natural dan sains-sains behavioral, wilayah disiplin keilmuan tersebut yang dikembangkan gagasannya oleh Kuhn.
Ciri khas yang membedakan model filsafat ilmu baru ini dengan model yang terdahulu adalah perhatian besar terhadap sejarah ilmu, dan peranan sejarah ilmu dalam upaya mendapatkan serta mengkonstruksikan wajah ilmu pengetahuan dan kegiatan ilmiah yang sesungguhnya terjadi.
Bagi Kuhn sejarah ilmu merupakan starting point dan kaca mata utamanya dalam menyoroti permasalahan-permasalahan yang fundamental dalam epistemologi, yang selama ini masih menjadi teka-teki. Dengan kejernihan pikiran, ia menegaskan bahwa sains pada dasarnya lebih dicirikan oleh paradigma dan revolusi yang menyertainya.Oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis ingin mencari paralelisme teori Kuhn pada ilmu-ilmu sosial, yaitu pendidikan.
Kuhn dan Urgensi Sejarah Ilmu
Kuhn meniti karirnya mula-mula sebagai seorang ahli fisika, baru dalam perkembangan selanjutnya ia mendalami sejarah, sejarah ilmu dan filsafat ilmu. Karena begitu antusiasnya kepada sejarah dan khususnya sejarah ilmu, ia mengklaim bahwa filsafat ilmu sebaiknya berguru kepada sejarah ilmu yang baru. Gagasan Kuhn ini sekaligus merupakan tanggapan terhadap pendekatan Popper pada filsafat ilmu pengetahuan. Menurut Kuhn, Popper menjungkir-balikkan kenyataan dengan terlebih dahulu menguraikan terjadinya ilmu empiris melalui jalan hipotesa yang disusul dengan upaya falsifikasi. Namun Popper justru menempatkan sejarah ilmu pengetahuan sebagai contoh untuk menjustifikasi teorinya.
Hal ini sangat bertolak belakang dengan pola pikir Kuhn yang lebih mengutamakan sejarah ilmu sebagai titik awal segala penyelidikan. Dengan demikian filsafat ilmu diharapkan bisa semakin mendekati kenyataan ilmu dan aktivitas ilmiah sesungguhnya. Jika hal ini dilakukan, maka tampaklah bahwa terjadinya perubahan-perubahan mendalam selama sejarah ilmu justru tidak pernah terjadi berdasarkan upaya empiris untuk membuktikan salah satu teori atau sistem, melainkan terjadi melalui revolusi-revolusi ilmiah. Dengan demikian Kuhn beranggapan bahwa kemajuan ilmiah pertama-tama bersifat revolusioner bukan maju secara kumulatif.
Paradigma dan Normal Science
Konsep sentral Kuhn adalah apa yang dinamakan dengan paradigma. Istilah ini tidak dijelaskan secara konsisten, sehingga dalam berbagai keterangannya sering berubah konteks dan arti. Pemilihan kata ini erat kaitannya dengan sains normal, yang oleh Kuhn dimaksudkan untuk mengemukakan bahwa beberapa contoh praktik ilmiah nyata yang diterima (yaitu contoh-contoh yang bersama-sama mencakup dalil, teori, penerapan dan instrumentasi) menyajikan model-model yang melahirkan tradisi-tradisi padu tertentu dari riset ilmiah. Atau ia dimaksudkan sebagai kerangka referensi yang mendasari sejumlah teori maupun praktik-praktik ilmiah dalam periode tertentu.
Paradigma ini membimbing kegiatan ilmiah dalam masa sains normal, di mana ilmuwan berkesempatan mengembangkan secara rinci dan mendalam, karena tidak sibuk dengan hal-hal yang mendasar. Dalam tahap ini ilmuwan tidak bersikap kritis terhadap paradigma yang membimbing aktifitas ilmiahnya, dan selama menjalankan riset ini ilmuwan bisa menjumpai berbagai fenomena yang disebut anomali. Jika anomali ini kian menumpuk, maka bisa timbul krisis. Dalam krisis inilah paradigma mulai dipertanyakan. Dengan demikian sang ilmuwan sudah keluar dari sains normal. Untuk mengatasi krisis, ilmuwan bisa kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang lama sambil memperluas cara-cara itu atau mengembangkan sesuatu paradigma tandingan yang bisa memecahkan masalah dan membimbing riset berikutnya. Jika yang terakhir ini terjadi, maka lahirlah revolusi ilmiah.
Dari sini nampak bahwa paradigma pada saat pertama kali muncul itu sifatnya masih sangat terbatas, baik dalam cakupan maupun ketepatannya. Paradigma memperoleh statusnya karena lebih berhasil dari pada saingannya dalam memecahkan masalah yang mulai diakui oleh kelompok praktisi bahwa masalah-masalah itu rawan.
Keberhasilan sebuah paradigma semisal analisis Aristoteles mengenai gerak, atau perhitungan Ptolemaeus tentang kedudukan planet, atau yang lainnya. Pada mulanya sebagian besar adalah janji akan keberhasilan yang dapat ditemukan contoh-contoh pilihan dan yang belum lengkap. Dan ini sifatnya masih terbatas serta ketepatannya masih dipertanyakan. Dalam perkembangan selanjutnya, secara dramatis, ketidak berhasilan teori Ptolemaeus betul-betul terungkap ketika muncul paradigma baru dari Copernicus.
Contoh lain tentang hal ini, misalnya bisa dilihat pada bidang fisika yang berkenaan dengan teori cahaya. Mula-mula cahaya dinyatakan sebagai foton, yaitu maujud mekanis kuantum yang memperlihatkan beberapa karakteristik gelombang dan beberapa karakteristik partikel. Teori ini menjadi landasan riset selanjutnya yang hanya berumur setengah abad dan berakhir ketika muncul teori baru dari Newton yang mengajarkan bahwa cahaya adalah partikel yang sangat halus. Teori inipun sempat diterima oleh hampir semua praktisi sains optika, kemudian muncul teori baru yang bisa dikatakan lebih "unggul" yang digagas oleh Young dan Fresnel pada awal abad XIX yang selanjutnya dikembangkan oleh Planck dan Einstein, yaitu bahwa cahaya adalah gerakan gelombang tranversal.
Transformasi-transformasi paradigma semacam ini adalah revolusi sains, dan transisi yang berurutan dari paradigma yang satu ke paradigma yang lainnya melalui revolusi, adalah pola perkembangan yang biasa dari sains yang telah matang.
Anomali dan Munculnya Penemuan Baru
Data anomali berperan besar dalam memunculkan sebuah penemuan baru yang diawali dengan kegiatan ilmiah. Dalam hal ini Kuhn menguraikan dua macam kegiatan ilmiah, puzzle solving dan penemuan paradigma baru
Dalam puzzle solving, para ilmuwan membuat percobaan dan mengadakan observasi yang bertujuan untuk memecahkan teka-teki, bukan mencari kebenaran. Bila paradigmanya tidak dapat digunakan untuk memecahkan persoalan penting atau malah mengakibatkan konflik, maka suatu paradigma baru harus diciptakan. Dengan demikian kegiatan ilmiah selanjutnya diarahkan kepada penemuan paradigma baru, dan jika penemuan baru ini berhasil, maka akan terjadi perubahan besar dalam ilmu pengetahuan.
Penemuan baru bukanlah peristiwa-peristiwa yang tersaing, melainkan episode-episode yang diperluas dengan struktur yang berulang secara teratur. Penemuan diawali dengan kesadaran akan anomali, yakni dengan pengakuan bahwa alam dengan suatu cara, telah melanggar pengharapan yang didorong oleh paradigma yang menguasai sains yang normal. Kemudian ia berlanjut dengan eksplorasi yang sedikit banyak diperluas pada wilayah anomali. Dan ia hanya berakhir bila teori atau paradigma itu telah disesuaikan sehingga yang menyimpang itu menjadi sesuai dengan yang diharapkan. Jadi yang jelas, dalam penemuan baru harus ada penyesuaian antara fakta dengan teori yang baru.
Selanjutnya perlu dijelaskan juga, bahwa Kuhn membedakan antara discovery dan invention. Yang dimaksud discovery adalah penemuan baru, sedang invention adalah penciptaan baru yang mana keduanya saling berhubungan erat dalam penemuan ilmiah.
Revolusi Sains: Permasalahan dan Keutamaannya
Sebagaimana telah disinggung dalam uraian terdahulu, revolusi sains muncul karena adanya anomali dalam riset ilmiah yang dirasakan semakin parah, dan munculnya krisis yang tidak dapat diselesaikan oleh paradigma yang dijadikan referensi riset.
Revolusi sains di sini dianggap sebagai episode perkembangan non-kumulatif yang di dalamnya paradigma yang lama diganti sebagian atau seluruhnya oleh paradigma baru yang bertentangan.
Adanya revolusi sains bukan merupakan hal yang berjalan dengan mulus tanpa hambatan. Sebagian ilmuwan atau masyarakat sains tertentu ada kalanya tidak mau menerima paradigma baru. Dan ini menimbulkan masalah sendiri yang memerlukan pemilihan dan legitimasi paradigma yang lebih definitif.
Dalam pemilihan paradigma tidak ada standar yang lebih tinggi dari pada persetujuan masyarakat yang bersangkutan. Untuk menyingkapkan bagaimana revolusi sains itu dipengaruhi, kita tidak hanya harus meneliti dampak sifat dan dampak logika, tetapi juga teknik-teknik argumentasi persuasif yang efektif di dalam kelompok-kelompok yang sangat khusus yang membentuk masyarakat sains itu. Oleh karena itu permasalahan paradigma sebagai akibat dari revolusi sains, hanyalah sebuah konsensus yang sangat ditentukan oleh retorika di kalangan akademisi dan atau masyarakat sains itu sendiri. Semakin paradigma baru itu diterima oleh mayoritas masyarakat sains, maka revolusi sains kian dapat terwujud.
Selama revolusi, para ilmuwan melihat hal-hal yang baru dan berbeda dengan ketika menggunakan instrumen-instrumen yang sangat dikenal untuk melihat tempat-tempat yang pernah dilihatnya. Seakan-akan masyarakat profesional itu tiba-tiba dipindahkan ke daerah lain di mana obyek-obyek yang sangat dikenal sebelumnya tampak dalam penerangan yang berbeda dan juga berbaur dengan obyek-obyek yang tidak dikenal.
Kalaupun ada ilmuwan yang tidak mau menerima paradigma baru sebagai landasan risetnya, dan ia tetap bertahan pada paradigma yang telah dibongkar dan sudah tidak mendapat dukungan lagi dari mayoritas masyarakat sains, maka aktivitas-aktivitas risetnya hanya merupakan tautologi, yang tidak berguna sama sekali.
Paradigma dan Revolusi dalam Wacana Pendidikan
Yang penulis maksud dengan wacana pendidikan di sini bukan masalah pendidikan secara makro, atau sistem kelembagaan pendidikan secara luas, tetapi lebih terfokus pada teori belajar yang diinspirasikan oleh paradigma dan revolusi sains.
Istilah paradigma identik dengan "skema" dalam teori belajar. Skema adalah suatu struktur mental atau kognisi yang dengannya seseorang secara intelektual beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Skema ini akan beradaptasi dan berubah seiring perkembangan mental anak.
Perubahan skema ini bisa mengambil bentuk asimilasi atau akomodasi. Asimilasi merupakan proses kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep atau pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada di dalam pikirannya.
Dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman yang baru yang tidak sesuai dengan skema yang ada (data anomali), ada kalanya seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru itu dengan skema yang ia miliki. Pengalaman yang baru ini bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan paradigma yang ada. Dalam keadaan seperti ini orang tersebut akan mengadakan akomodasi, yaitu membentuk skema baru yang dapat sesuai dengan rangsangan yang baru, atau memodifikasi skema yang ada sehingga sesuai dengan data anomali itu. Inilah yang disebut revolusi skema.
Catatan Akhir
Kuhn telah menarik perhatian kita pada fakta, bahwa para filosuf ilmu umumnya tidak menghiraukan persoalan hermeneutik yang pokok, seperti persoalan tentang apa yang sebenarnya dilakukan oleh seorang ilmuwan. Mereka biasanya malah sibuk dengan urusan tentang kriteria mana saja yang perlu, agar ilmu dapat dianggap representasi murni realitas atau keyakinan yang telah teruji.
Kuhn mengingatkan kita bahwa ada soal penelitian dalam rasionalitas ilmiah itu yang sebetulnya sangat ambigu. Baginya rasionalitas ilmiah itu akhirnya bukanlah semata-mata perkara induksi atau deduksi atau juga rasionalitas demonstratif yang berkulminasi pada representasi teoritis kenyataan obyektif, melainkan pada dasarnya lebih dari perkara interpretasi dan persuasi yang cenderung bersifat subyektif.
Oleh karena itu segala yang dikatakan oleh ilmu tentang dunia dan kenyataan sebetulnya erat terkait pada paradigma dan model atau skema interpretasi tertentu yang digunakan oleh ilmuwannya. Cara ilmuwan memandang dunia menentukan dunia macam apa yang dilihatnya itu. Jadi pengetahuan ilmiah sama sekali bukanlah jiplakan atau foto kopi realitas, melainkan realitas hasil konstruksi manusia. Dan bahwa paradigma yang mendasari konstruksi itu diterima oleh komunitas para ilmuwan, bukan karena ilmuwan itu tahu bahwa itu benar, melainkan karena mereka percaya bahwa itu yang terbaik, yang paling menjanjikan bila digunakan dalam riset-riset selanjutnya.
Akhirnya, walau bagaimanapun penilaian orang, Kuhn telah berjasa besar, terutama dalam mendobrak citra filsafat ilmu sebagai logika ilmu, dan mengangkat citra bahwa ilmu adalah suatu kenyataan yang punya kebenaran seakan-akan sui-generis, obyektif. Di samping itu teori yang dibangun Kuhn mempunyai implikasi yang sangat luas dalam bidang-bidang keilmuan yang beraneka ragam. Selama lebih dari dua dekade, gagasan Kuhn tentang paradigma menjadi bahan diskusi dalam wacana intelektual, sejumlah kajian kritis, baik yang mendukung maupun yang menentang, berkembang dalam berbagai kancah disiplin keilmuan, hampir semua cabang keilmuan menyampaikan respon lewat berbagai versi yang dianggap cukup mewakili nuansa pemikiran yang selama ini berkembang dalam disiplin ilmu masing-masing. Paradigma sebagai kosa kata, menjadi wacana tersendiri, baik pada level teori maupun praksis. Kata tersebut seolah menjadi sesuatu yang hidup, tumbuh dan berkembang sedemikian rupa, sehingga penggagasnya sendiri seperti kebingungan untuk menjinakkannya.
KATA BIJAK HARI INI
The manners of women are the surest criterion by which to determine whether a republican government is practicable in a nation or not.
John Quincy Adams (1767-1848) |
Quote of the Day
provided by The Free Library
09 June 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Banjarbaru, Kalimantan Selatan, 6 Juni 2008
Matinya Ilmu Administrasi dan Manajemen
(Satu Sebab Krisis Indonesia)
Oleh Qinimain Zain
FEELING IS BELIEVING. C(OMPETENCY) = I(nstrument) . s(cience). m(otivation of Maslow-Zain) (Hukum XV Total Qinimain Zain).
INDONESIA, sejak ambruk krisis Mei 1998 kehidupan ekonomi masyarakat terasa tetap buruk saja. Lalu, mengapa demikian sulit memahami dan mengatasi krisis ini?
Sebab suatu masalah selalu kompleks, namun selalu ada beberapa akar masalah utamanya. Dan, saya merumuskan (2000) bahwa kemampuan usaha seseorang dan organisasi (juga perusahaan, departemen, dan sebuah negara) memahami dan mengatasi krisis apa pun adalah paduan kualitas nilai relatif dari motivasi, alat (teknologi) dan (sistem) ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Di sini, hanya menyoroti salah satunya, yaitu ilmu pengetahuan, sistem ilmu pengetahuan. Pokok bahasan itu demikian penting, yang dapat diketahui dalam pembicaraan apa pun, selalu dikatakan dan ditekankan dalam berbagai forum atau kesempatan membahas apa pun bahwa untuk mengelola apa pun agar baik dan obyektif harus berdasar pada sebuah sistem, sistem ilmu pengetahuan. Baik untuk usaha khusus bidang pertanian, manufaktur, teknik, keuangan, pemasaran, pelayanan, komputerisasi, penelitian, sumber daya manusia dan kreativitas, atau lebih luas bidang hukum, ekonomi, politik, budaya, pertahanan, keamanan dan pendidikan. Kemudian, apa definisi sesungguhnya sebuah sistem, sistem ilmu pengetahuan itu? Menjawabnya mau tidak mau menelusur arti ilmu pengetahuan itu sendiri.
Ilmu pengetahuan atau science berasal dari kata Latin scientia berarti pengetahuan, berasal dari kata kerja scire artinya mempelajari atau mengetahui (to learn, to know). Sampai abad XVII, kata science diartikan sebagai apa saja yang harus dipelajari oleh seseorang misalnya menjahit atau menunggang kuda. Kemudian, setelah abad XVII, pengertian diperhalus mengacu pada segenap pengetahuan yang teratur (systematic knowledge). Kemudian dari pengertian science sebagai segenap pengetahuan yang teratur lahir cakupan sebagai ilmu eksakta atau alami (natural science) (The Liang Gie, 2001), sedang (ilmu) pengetahuan sosial paradigma lama krisis karena belum memenuhi syarat ilmiah sebuah ilmu pengetahuan. Dan, bukti nyata masalah, ini kutipan beberapa buku pegangan belajar dan mengajar universitas besar (yang malah dicetak berulang-ulang):
Contoh, “umumnya dan terutama dalam ilmu-ilmu eksakta dianggap bahwa ilmu pengetahuan disusun dan diatur sekitar hukum-hukum umum yang telah dibuktikan kebenarannya secara empiris (berdasarkan pengalaman). Menemukan hukum-hukum ilmiah inilah yang merupakan tujuan dari penelitian ilmiah. Kalau definisi yang tersebut di atas dipakai sebagai patokan, maka ilmu politik serta ilmu-ilmu sosial lainnya tidak atau belum memenuhi syarat, oleh karena sampai sekarang belum menemukan hukum-hukum ilmiah itu” (Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 1982:4, PT Gramedia, cetakan VII, Jakarta). Juga, “diskusi secara tertulis dalam bidang manajemen, baru dimulai tahun 1900. Sebelumnya, hampir dapat dikatakan belum ada kupasan-kupasan secara tertulis dibidang manajemen. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa manajemen sebagai bidang ilmu pengetahuan, merupakan suatu ilmu pengetahuan yang masih muda. Keadaan demikian ini menyebabkan masih ada orang yang segan mengakuinya sebagai ilmu pengetahuan” (M. Manullang, Dasar-Dasar Manajemen, 2005:19, Gajah Mada University Press, cetakan kedelapan belas, Yogyakarta).
Kemudian, “ilmu pengetahuan memiliki beberapa tahap perkembangannya yaitu tahap klasifikasi, lalu tahap komparasi dan kemudian tahap kuantifikasi. Tahap Kuantifikasi, yaitu tahap di mana ilmu pengetahuan tersebut dalam tahap memperhitungkan kematangannya. Dalam tahap ini sudah dapat diukur keberadaannya baik secara kuantitas maupun secara kualitas. Hanya saja ilmu-ilmu sosial umumnya terbelakang relatif dan sulit diukur dibanding dengan ilmu-ilmu eksakta, karena sampai saat ini baru sosiologi yang mengukuhkan keberadaannya ada tahap ini” (Inu Kencana Syafiie, Pengantar Ilmu Pemerintahan, 2005:18-19, PT Refika Aditama, cetakan ketiga, Bandung).
Lebih jauh, Sondang P. Siagian dalam Filsafat Administrasi (1990:23-25, cetakan ke-21, Jakarta), sangat jelas menggambarkan fenomena ini dalam tahap perkembangan (pertama sampai empat) ilmu administrasi dan manajemen, yang disempurnakan dengan (r)evolusi paradigma TOTAL QINIMAIN ZAIN (TQZ): The Strategic-Tactic-Technique Millennium III Conceptual Framework for Sustainable Superiority, TQZ Administration and Management Scientific System of Science (2000): Pertama, TQO Tahap Survival (1886-1930). Lahirnya ilmu administrasi dan manajemen karena tahun itu lahir gerakan manajemen ilmiah. Para ahli menspesialisasikan diri bidang ini berjuang diakui sebagai cabang ilmu pengetahuan. Kedua, TQC Tahap Consolidation (1930-1945). Tahap ini dilakukan penyempurnaan prinsip sehingga kebenarannya tidak terbantah. Gelar sarjana bidang ini diberikan lembaga pendidikan tinggi. Ketiga, TQS Tahap Human Relation (1945-1959). Tahap ini dirumuskan prinsip yang teruji kebenarannya, perhatian beralih pada faktor manusia serta hubungan formal dan informal di tingkat organisasi. Keempat, TQI Tahap Behavioral (1959-2000). Tahap ini peran tingkah-laku manusia mencapai tujuan menentukan dan penelitian dipusatkan dalam hal kerja. Kemudian, Sondang P. Siagian menduga, tahap ini berakhir dan ilmu administrasi dan manajemen akan memasuki tahap matematika, didasarkan gejala penemuan alat modern komputer dalam pengolahan data. (Yang ternyata benar dan saya penuhi, meski penekanan pada sistem ilmiah ilmu pengetahuan, bukan komputer). Kelima, TQT Tahap Scientific System (2000-Sekarang). Tahap setelah tercapai ilmu sosial (tercakup pula administrasi dan manajemen) secara sistem ilmiah dengan ditetapkan kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukumnya, (sehingga ilmu pengetahuan sosial sejajar dengan ilmu pengetahuan eksakta). (Contoh, dalam ilmu pengetahuan sosial paradigma baru milenium III, saya tetapkan satuan besaran pokok Z(ain) atau Sempurna, Q(uality) atau Kualitas dan D(ay) atau Hari Kerja - sistem ZQD, padanan m(eter), k(ilogram) dan s(econd/detik) ilmu pengetahuan eksakta - sistem mks. Paradigma (ilmu) pengetahuan sosial lama hanya ada skala Rensis A Likert, itu pun tanpa satuan). (Definisi klasik ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang tersusun secara teratur. Paradigma baru, TQZ ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang tersusun secara teratur membentuk kaitan terpadu dari kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum yang rasional untuk tujuan tertentu).
Bandingkan, fenomena serupa juga terjadi saat (ilmu) pengetahuan eksakta krisis paradigma. Lihat keluhan Nicolas Copernicus dalam The Copernican Revolution (1957:138), Albert Einstein dalam Albert Einstein: Philosopher-Scientist (1949:45), atau Wolfgang Pauli dalam A Memorial Volume to Wolfgang Pauli (1960:22, 25-26).
Inilah salah satu akar masalah krisis Indonesia (juga seluruh manusia untuk memahami kehidupan dan semesta). Paradigma lama (ilmu) pengetahuan sosial mengalami krisis (matinya ilmu administrasi dan manajemen). Artiya, adalah tidak mungkin seseorang dan organisasi (termasuk perusahaan, departemen, dan sebuah negara) pun mampu memahami, mengatasi, dan menjelaskan sebuah fenomena krisis usaha apa pun tanpa kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum, mendukung sistem-(ilmu pengetahuan)nya.
PEKERJAAN dengan tangan telanjang maupun dengan nalar, jika dibiarkan tanpa alat bantu, membuat manusia tidak bisa berbuat banyak (Francis Bacon).
BAGAIMANA strategi Anda?
*) Ahli strategi, tinggal di Banjarbaru, email: tqz_strategist@yahoo.co.id (www.scientist-strategist.blogspot.com).
THANK you very much for Dr Heidi Prozesky – SASA (South African Sociological Association) secretary about Total Qinimain Zain: The New Paradigm Scientific System of Science - The (R)Evolution of Social Science for the Higher Education and Science Studies sessions of the SASA Conference 2008.
Post a Comment