KATA BIJAK HARI INI

26 February 2008

Landasan dan Kerangka Berpikir

Dalam benak/pikiran manusia terdapat sejumlah gagasan-gagasan baik yang bersifat tunggal (seperti gagasan kita tentang Tuhan, Dewa, malaikat, surga, neraka, kuda, batu, putih, gunung dan lain-lain) maupun majemuk (seperti gagasan kita tentang Tuhan Pengasih, Dewa Perusak, Malaikat pembawa wahyu, kuda putih, gunung batu dan lain-lain). Bentuk pengetahuan-pengetahuan ini disebut pengetahuan tasawwur (konsepsi). Seluruh bentuk-bentuk proposisi keyakinan atau kepercayaan apapun pada awalnya hanyalah merupakan bentuk konsepsi sederhana ini. Mengapa bisa demikian? Hal ini karena adalah mustahil seseorang dapat meyakini atau menpercayai sesuatu jika sesuatu itu pada awalnya bukan merupakan sebuah konsepsi baginya.


Tetapi pengetahuan tasawwur (Konsepsi) sebagaimana telah diketahui hanyalah merupakan gagasan-gagasan sederhana yang di dalamnya belum ada penilaian maka itu ia dapat saja benar atau salah. Oleh karenanya seseorang tidak diperkenankan untuk merasa puas hanya dengan pengetahuan konsepsi. tetapi ia harus melangkah untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat yakin yaitu pengetahuan-pengetahuan tasdhiqi. Dalam artian bahwa ia harus melakukan suatu proses penilaian terhadap setiap gagasan-gagasan (baik tunggal maupun majemuk) atau konsepsinya itu agar dapat diyakini. Lantas, pertanyaannya adalah apa landasan pokok penilaian kita di dalam menilai seluruh gagasan-gagasan kita yang mana kebenarannya mestilah bersifat mutlak dan pasti? Dalam kanca perdebatan filosofis ketika para pemikir mencoba menjawab hal pokok ini terbentuklah tiga mazhab berdasarkan doktrinnya masing-masing. Ketiga mazhab itu adalah pertama, mazhab ‘metafisika Islam’ dengan doktrin aqliahnya, kedua, mazhab emperisme dengan doktrin emperikalnya dan ketiga, mazhab skriptualisme dengan doktrin tekstualnya. Metafisika Islam dalam hal ini menjadikan prima principia dan kausalitas serta metode deduktif sebagai kerangka berfikirnya. Adapun mazhab emperisme menjadikan pengalaman inderawi atau eksperimen sebagai landasan dalam menilai segala sesuatu dimana induktif sebagai kerangka berfikirnya. Sementara mazhab skriptualisme menjadikan teks-teks kitab suci sebagai landasan dalam menilai segala sesuatu serta tekstual dalam kerangka berfikirnya.
Mazhab kedua (empirisme) menolak seluruh bentuk landasan dan kerangka berfikir kedua mazhab yang lain. Begitu pula bagi mazhab ketiga (skriptualisme), mereka skeptis terhadap landasan dan kerangka berfikir kedua mazhab yang lain. Adapun bagi mazhab pertama (metafisika Islam), mereka tidak menolak sumbangsih-informasi dari teks-teks kitab suci dan pengalaman inderawi atau eksperimen yang dijadikan landasan berfikir bagi kedua mazhab yang lain tetapi yang ditolaknya adalah bila keduanya (pengalaman dan teks-teks kitab) itu merupakan landasan atau kriteria dasar dalam setiap penilaian hal-hal ilmiah filosofis maupun teologis.
Bagi mazhab pertama (‘metafisika Islam’) pengalaman inderawi atau data eksperimen merupakan informasi-informasi yang sangat perlu dalam upaya kita mengetahui aspek sekunder dari alam materi. Atau dengan kata lain data eksperimen atau pengalaman inderwi sangatlah dibutuhkan bila obyek pembahasan kita adalah khusus mengenai hal-hal yang sebagian bersifat ilmiah dan sebagian lagi bersifat filosofis. Adapun teks-teks kitab suci sangatlah dibutuhkan dalam upaya kita mengetahuai aspek sekunder dari keadaan-keadaan (kondisi objektif) seperti alam gaib, akhirat, kehendak-kehendak suci Tuhan atau dengan kata lain jika obyek pembahasan kita berkenaan dengan sebagian dari obyek filosofis (metafisika dan teologi) yang dalam hal ini pengalaman inderawi atau eksperimen tak dibutuhkan sama sekali. Karena itu dalam kerangka berfikir Islam, kedua data di atas (data pengalaman inderawi atau eksperimen dan teks-teks kitab suci) merupakan premis-premis minor dalam sistematika deduktif. Pada akhirnya tak dapat diingkari bahwa dari mazhab metafisika Islam yang berlandaskan prima principia dan hukum objektif kausalitas serta kerangka deduktifnya merupakan satu-satunya landasan berfikir di dalam menilai segala sesuatu. Tanpa pengetahuan dasar tersebut mustahil ada pengetahuan tasawwur (konsepsi) maupun tasdhiq (assent) apapun. Tak dapat dibayangkan apa yang terjadi bila doktrin dari metafisika Islam ini bukan merupakan watak wujud (realitas objektif) yang mengatur segala sesuatu termasuk pikiran? Maka kebenaran dapat menjadi sama dengan kesalahannya, bahwa setiap peristiwa dapat terjadi tanpa ada sebabnya. Bila demikian adanya maka tentu meniscayakan mustahilnya penilaian. Mengapa demikian? Karena watak penilaian adalah ingin diketahuinya “sesuatu itu (konsepsi) apakah ia benar atau salah” atau ingin diketahuinya “mengapa dan kenapa sesuatu itu dapat terjadi”. Artinya, jika pengetahuan dasar tersebut bukan merupakan watak dan hukum realitas yang mengatur segala sesuatu termasuk pikiran maka seluruh bangunan pengetahuan manusia baik di bidang ilmiah, filosofis dan teologi menjadi runtuh dan tak bermakna.
Man tamanthaqa faqad fazandaqa" , demikian ungkapan terkenal dari tokoh besar di dunia Islam, Ibn Taimiyyah. Arti harfiahnya kira-kira adalah, "Barang siapa menggunakan logika maka ia telah kafir." Apakah sikap seperti ini dapat dibenarkan? Ataukah memang mutlak salah? Apa implikasi jika sikap seperti ini dibenarkan? Dan apa pula konsekuensinya jika ia mutlak salah? Ataukah sikap seperti ini relatif, bisa benar sekaligus bisa salah secara bersamaan atau secara fuzzy ? Dan apa-kah konsekuensinya jika kebenaran sikap seperti ini fuzzy atau relatif? Logika adalah kaidah-kaidah berfikir. Subyeknya akal-akal rasional. Obyeknya adalah proposisi bahasa. Proposisi bahasa mencerminkan realitas, apakah itu realitas di alam nyata ataupun realitas di alam fikiran. Kaidah-kaidah berfikir dalam logika bersifat niscaya atau mesti. Penolakan terhadap kaidah berfikir ini mustahil (tidak mungkin). Bahkan mustahil pula dalam semua khayalan yang mungkin (all possible intelligebles). Contohnya, sesuatu apapun pasti sama dengan dirinya sendiri, dan tidak sama dengan yang bukan dirinya. Prinsip berfikir ini telah tertanam secara niscaya sejak manusia lahir. Tertanam secara spontan. Dan selalu hadir kapan saja fikiran digunakan. Dan harus selalu diterima kapan saja realitas apapun dipahami. Bahkan, lebih jauh, prinsip ini sesungguhnya adalah satu dari watak niscaya seluruh yang maujud (the very property of being). Tidak mengakui prinsip ini, yang biasa disebut dengan prinsip non-kontradiksi, akan menghancurkan seluruh kebenaran dalam alam bahasa maupun dalam semua alam lain. Tidak menerimanya berarti meruntuhkan seluruh bagunan agama, filsafat, sains dan teknologi, dan seluruh pengetahuan manusia. Sebagai contoh perkataan ‘Ibn Taimiyyah di atas, jika misal pernyataan itu benar, maka menggunakan kaidah logika adalah salah. Karena menggunakan kaidah logika salah, maka prinsip non-kontradiksi salah. Kalau prinsip non-kontradiksi salah . Artinya seluruh kebenaran tiada bermakna, tidak bisa dibenarkan ataupun disalahkan, atau bisa dibenarkan dan disalahkan sekaligus. Kalalu seluruh keberadaan tidak bermakna, maka pernyataan itu sendiri "Man tamanthaqa faqad fazandaqa" juga nafi. Tak bermakna. Tak perlu dipikirkan. Menerima kebenaran pernyataan beliau tersebut sama saja dengan mengkafirkan beliau. Karena jika peenyataan tersebut benar, maka untuk membenarkannya telah digunakan kaidah logika. Dan karena beliau telah menggunakan kaidah logika, menurut pernyataan-nya sendiri beliau kafir. Jadi sebaiknya pernyataan pengkafiran orang yang menggunakan logika ini benar-benar ditolak. Pernyataan ini salah. Salah. Dan mustahil benar. Karena kalau benar, semua orang yang berfikir benar kafir. Dan ini mustahil. "Wa qul jaa ‘al-haqqa wazahaaqal-baathil, innal-baathila kaana zahuuqa." Dalam pandangan saya, Islam jelas menentang adanya relativisme Kebenaran. Dalam Islam yang benar pasti benar dan tidak mungkin salah. Sedang yang salah pasti salah dan tak mungkin benar. Dalam dunia dikenali adanya golongan relativis kebenaran yang disebut sufastaiyyah. Golongan relativis kebenaran ini merupakan pewaris mazhab pemikiran sophisme, yang bermula pada abad ke-5 dan ke-4 SM di Yunani melalui pemikiran Protagoras, Hippias, Prodicus, Giorgias dan lain-lain. Beberapa pemikiran yang mendasari gelombang filsafat pasca-modernis juga merupakan cerminan dari pandangan golongan ini. Dalam majalah Ummat No.3/Thn.I/7 Agustus 1995, hal 76, DR.Wan Mohd Nor Wan Daud menjelaskan bahwa Akidah Islam jelas menentang keras sikap golongan sufastaiyyah ini. Bagi golongan sufastaiyyah, benar itu bisa salah dan salah itu bisa benar. Bagi golongan shopisme Yunsni, semua yang jelas-jelas ada ini dianggap tidak memiliki keberadaan. Jadi ada dan tiada sama saja. Bagi golongan positivis pasca- Renaisance, semua yang tidak bisa diukur tidak bisa ditentukan benar salahnya. Bagi pengikut Marx dan Hegel, kontradiksibukan saja mungkin terjadi, tapi menjadi arah gerakan alam yang sering disebut sebagai dialektika Hegel. Bagi golongan relativis pasca-modern, yang mendasarkan pemiokirannya pada language games ala Wittgenstein ataupun Russel seyiap propisisi adalah bahasa, dan setiap bahasa nilai kebenarannya relatif, karena itu setiap keberanan itu relatif. Adapun sufastaiyyah, misalnya sama. Menghancurkan kaidah dasar logoka. Yaitu prinsip non-kontradiksi. Hanya Protagoras meniadakannya dalam tingkatan ada-tidaknya segala sesuatu, para positivis meniadakannya pada tingkatan hal yang tidak bisa diindra, Marx dan Hegel meniadaknnya sebagai watak umum segala yang maujud, dan Wittgenstein maupun Russel menghilangkan otoritas fikiran untuk menerapkan kaidahnaya kepada alam di luar fikiran. Hasilnya sama. Runtuhnya seluruh bangunan pengetahuan manusia. Runtuhnya suatu bangunan keyakinan manusia. Bahkan keyakinan tentang adanya dirinya sendiri ! Na’uudzubihi min dzaalik. Penerapan kaidah-kaidah berfikir yang benar telah menghantarkan para filosof besar pada keyakinan yang pasti akan keberadaan Tuhan. Socraets dengan The Most Beauty -nya. Plato dengan archetype -nya. Aristoteles dengan prime-mover-nya.. ‘Ibn Arabi dengan al-jam’u bainal-‘addaad (coincindentia in oppositorium) nya. Suhrawardi dengan Nur-i-qahir nya. Mulla Shadra dan Mulla Hadi Sabzavary dengan Al-Wujud Al-Muthlaq-nya. Jelas-jelas penerapan logika bagi mereka tidak menentang agama. Malah sebaliknya, me-real-kan agama sampai ke seluruh pori-pori rohaninya yang mingkin. Atau dengan kata lain, mencapai hakikat. Dalam dialog terakhir Socrates, digambarkan betapa figur filsuf ini mati tersenyum setelah menyebut nama Tuhan sebelum akhir hayatnya. Tentang Aristoteles, sebuah riwayat menyatakan bahwa ia adalah seorang nabi yang didustakan ummatnya. Tentang ‘Ibn ‘Arabi, tidak ada yang menyangsingkan sebagai salah seorang sufi terbesar sepanjang sejarah dengan tak terhitung pengalaman ruhani yang tertulis di kurang lebih 700 kitabnya. Sedang Mulla Shadra , tujuh kali haji ke Mekkah dengan berjalan dari Qum (Iran) hanya untuk memenuhi panggilan kekasih-Nya. Alih-alih logika menentang agama, malah logika adalah kendaraan super-executive untuk mencapai hakikat. Dan sekali lagi alih-alih logika menentang agama , tanpa logika agama tak-kan dapat terpahami. Jadi apakah logika menentang agama?
Dalam kerangka befikir fiqhiy, ada suatu istilah yang amat penting; fardhu. Fardhu adalah kewajiban yang harus dilakukan. Fardhu ‘ain artinya kewajiban bagi tiap individu. Fardhu kifayah artinya kewajiban bagi setiap kelompok orang (masyarakat). Setiap Muslim harus melakukan sesuatu yang di-fardhu-kan oleh Islam, walaupun dalam kasus fardhu kifayah, kewajiban ini gugur pada saat ada Muslim lain yang telah menunaikannya. Berfikir dengan kerangka fiqh, membuat seorang berfikir fardhu-haram-makruh-sunnah-mubah. Jika fardhu dan sunnah memperoleh pahala. Jika haram memperoleh dosa. Jika mubah tidak memperoleh apa-apa. Berfikir seperti seorang pedagang. Barang dagangannya "amal" . Labanya "pahala" = "surga". Ruginya "dosa" = "neraka". Dari sudut pandang ini, mungkin ada orang yang bertanya ; menggunakan logika dalam Islam ini hukumnya apa apakah fardhu atau lainnya? Atau lebih gamblang lagi apakah seorang Muslim harus menggunakan logikanya untuk mencapai Tauhid atau tidak? Untuk menjawab pertanyaan ini , mungkin perlu kita tinjau terlebih dahulu dua istilah dalam logika matematika, necessary & sufficient condition. Syarat perlu (atau syarat mesti), dan syarat cukup. Apa yang dimaksud dengan syarat mesti? B disebut syarat mesti dari A jika keberadaan (kebenaran) A memestikan/mem-pasti-kan keberadaan (kebenaran) B. Contohnya; B : x adalah bilangan nyata positif. A : x adalah bilangan nyata yang lebih dari 3. Maka B adalah syarat mesti dari A. Apa artinya? Jika A benar (yaitu x adalah suatu bilangan nyata yang lebih dari 3), pasti B benar (yaitu pasti x adalah suatu bilangan nyata yang positif). Di sisi laim apa yang dimaksud dengan syarat cukup? B disebut syarat cukup dari A jika keberadaan (kebenaran) B men-cukup-kan atau mem-pasti-kan atau men-implikasi-kan keberadaan (kebenaran) A. Contohnya B : ada dua benda bermuatan listrik berada pada jarak tertentu, A : kedua benda tersebut akan saling tarik menarik atau tolak menolak. B mem-pastikan A, sebaliknya A tidak mempastikan B. Dalam filsafat, manusia didefenisikan sebagai hewan yang berfikir. Jadi jika X manusia pasti X berfikir. Berfikir adalah syarat mesti bagi ke-manusiaan. Jadi jika X tidak berfikir pasti X bukan manusia. Selanjutnya jika X berfikir maka X pasti menggunakan logika/kaidah berfkir. Jadi menggunakan logika merupakan syarat mesti bagi bagi berfikir. Jadi jika X tidak menggunakan logika pasti X tidak berfikir , dan karena itu pasti X bukan manusia. Jadi apakah berfikir dan menggunakan logika itu keharusan? Tidak. Ia bukan keharusan. Tapi suatu kemestian. Suatu keniscayaan. Thou’an au karhan. Sebagai suatu contoh lain yang sederhana, prinsip logika identitas (qanun dzatiyah), bahwa sesuatu itu sama dengan dirinya sendiri tidak mungkin kita tinggalkan dalam setiap aktifitas. Pada saat melihat bebek, kita yakin bahwa bebek adal bebek. Pada saat mendengar suara gitar, kita yakin bahwa tiap nada dan suara memiliki identitasnya sendiri-sendiri. Pada saat merasa panas , kita yakin bahwa panas tersebut memiliki suatu identitas sendiri. Di mana kita bisa mengharuskan logika, sedangkan ia ada "sebelum" kita "ada" dan ia selalu menyertai kemanapun kedipan mata memandang?

Rumah tua itu kosong. Namun ketika dilewati, terdengar rintihan. Kami pun berlari terbirit-birit."Pasti ada hantu di dalamnya." Demikian hadir-nya dan demikian penting prinsip non-kontradiksi ini, sehingga tidak ada satu saat pun yang lolos dari kehadiran dan keniscayaannya. Seperti ungkapan penyimpulan yang dikutip di atas. Kalau di susun lagi urutan penyimpulannya adalah sebagai berikut. Jika ada suara dari sebuah rumah, pasti ada yang mengeluarkan suara tersebut dalam rumah itu. Walaupun terdapat fakta bahwa di rumah tua itu tidak ada orang, tapi karena ada rintihan dari suara itu, kita tetap yakin ada yang mengeluarkan suara rintihan tersebut. Ada berkontradiksi dengan tidak ada, dan karena kontradiksi tidak mungkin, tidak mungkin tidak ada yang mengeluarkan suara rintihan tersebut. Karena itu kita tetap yakin ada yang mengeluarkan suara, yaitu (mungkin) hantu.
Ketidak-mungkinan terjadinya kontradiksi logis dalam realitas ini disebut dengan prinsip non-kontradiksi. Prinsip ini menjadi dasar sekaligus hakikat logika klasik (the very nature of classical logics). Jika diringkas secara simbolis adalah sebagai berikut, A tidak sama dengan (bukan A) dan A sama dengan A sendiri. Tidak ada satu kebenaran apapun yang bisa ditahkik tanpa menggunakan prinsip ini sebelumnya. Meyakini kebenaran prinsip non-kontradiksi merupakan syarat mesti (necessary condition) bagi meyakini seluruh kebenaran lain. Dan keyakinan kebenaran prinsip ini ternyata hadir dalam kesadaran setiap insan.
Orang yang meyakini prinsip non-kontradiksi percaya bahwa jika suatu proposisi tertentu benar, tidak mungkin pada saat yang sama ia salah. Dan kalau proposisi tertentu benar, maka proposisi lain yang berkontradiksi dengan proposisi itu pasti salah. Sebaliknya jika suatu proposisi tertentu salah, tidak mungkin pada saat yang sama ia benar. Contohnya; jika kita meyakini proposisi bahwa " Tuhan (Allah) itu Satu." benar, maka proposisi bahwa "Tuhan (Allah) itu dua" atau "Tuhan (Allah) itu tiga" pasti salah. Kenapa ? Karena pernyataan bahwa sesuatu itu satu jelas berkontradiksi dengan sesuatu itu bukan satu (yaitu dalam hal ini dua atau tiga).
Selanjutnya karena jelas bahwa proposisi "Tuhan(Allah) itu dua" atau "Tuhan(Allah) itu tiga" salah, tidak mungkin mereka benar.
Para materialis, atau lebih akurat lagi Marxis, tidak percaya pada kesahihan prinsip non-kontradiksi. Bahkan lebih jauh, mereka percaya bahwa justru kontradiksi-lah hal yang paling hakiki yang ada merupakan detak jantung seluruh gerak alam ini. Strukturnya: jika ada tesa maka ada anti-tesa yang kontradiktif terhadap tesa. Setelah itu dua halyang berkontradiksi itu tersintesakan dalam suatu kesatuan. Kesatuan ini lalu menjadi tesa baru, menjadi suatu titik tolak baru. Demikianlah, tiga hal ini, tesa-antitesa-sintesa, berulang-ulang terus tanpa berhenti dan tanpa batas. Ia bergerak bersama eksistensi dan merentang sejauh rentangan keberadaan.
Contoh logika dialektis ini adalah sebagai berikut.
Tesa = Eksistensi itu ada. Anti-Tesa = Eksistensi bukanlah sesuatu, karena ia adalah segala sesuatu, sehingga karena itu eksistensi tidak maujud (tidak ada). Karena itu terjadi sintesa, yaitu sesuatu yang ada tapi tidak sepenuhnya ada yang tidak lain adalah gerak. Kesimpulannya? Eksistensi nyata itu menjadi.
Tesa = Sesuatu itu hidup. Anti-Tesa = Sesuatu yang hidup selalu berubah dan berkembang. Jika A berubah menjadi A’ maka A sebenarnya telah mati dan kematian A merupakan syarat bagi kehidupan A’. Sintesa = setiap maujud hidup membawa kematiannya sendiri setiap saat untuk memperoleh kehidupannya.
Bukan menjadi tujuan makalah ini untuk mengkritik logika dialektis sebagai logika dialektis, walaupun itu sebenarnya bukan hal yang sulit. Yang menjadi concern dalam makalah ini adalah pertanyaan berikut; "Apakah benar klaim kaum materialis (Marxis) bahwa logika dialektis seperti ini menggugurkan prinsi non-kontradiksi? " Jawabannya jelas, salah. Argumennya adalah sebagai berikut.
Pertama, jika prinsip non-kontradiksi gugur, maka suatu proposisi bisa sekaligus benar dan salah, sehingga tidak perlu kita yakini (bahkan tidak perlu kita bicarakan) apakah pernyataan (proposisi) kaum materialis ini benar atau pun salah.
Kedua, pengertian kontradiksi yang dimaksud oleh mereka (kaum materialis) bukan kontradiksi dalam logika klasik. Contohnya dalam contoh kedua. Kehidupan A’ dan kematian A diartikan sebagai suatu kontradiksi. Padahal menurut logika klasik, ini tidak memenuhi syarat kesamaan subyek (A’ berbeda dengan A). Sehingga ini sebenarnya bukan merupakan kontradiksi dalam logika klasik.
Selayaknya kita lebih berhati-hati dalam mengkritik sesuatu, apakah sesuatu yang kita kritik itu berdasar lingua-franca ( language-frame) yang benar atau sebenarnya kita hanyalah mengkritik suatu pendapat menurut imajinasi atau language-frame yang kita buat sendiri. Adalah satu kenyataan bahwa Hegel, lepas dari kenyataan bahwa dia adalah filsuf besar, telah mengkritik sesuatu yang tidak atau belum ia pahami dengan baik, yaitu prinsip non-kontradiksi. Walhasil, alih-alih kritiknya sahih, malah ia telah mengkritik prinsip non-kontradiksi menurut penafsiran dan pemahamannya sendiri. Ada sebuah cerita lucu, ketika seorang suami Sunda bertanya kepada istrinya (orang Jawa) yang sedang di WC; "Atos? Atos?" Istrinya pun berpikir, jorok bener suaminya ini ? Atos menurut bahasa Sunda artinya sudah. Sedang menurut bahasa Jawa artinya, keras. Jadi apa yang akan terjadi si istri langsung mendamprat suaminya?
wallohu a’lam

Absolutisme versus Relativisme
Jika seekor kucing benar-benar berada di rumah, dan kita yakin bahwa "kucing ada di rumah", dan kita katakan bahwa "kucing ada di rumah", maka jelas keyakinan kita maupun proposisi yang kita nyatakan bernilai benar secara mutlak. Inilah yang saya maksudkan dengan absolutisme. Setiap peyakin kebenaran, mesti seorang absolutis. Dapatkah pernyataan ini kita buktikan secara lebih jelas? Mari kita mulai dulu dengan menyusun beberapa struktur lingua-franca untuk pembahasan kita saat ini. Apa yang dimaksudkan dengan alam dalam pembahasan kita dalam suatu himpunan. Dalam makalh ini akan ada tiga alam; alam mental, tidak lain adalah himpunan obyek dalam fikiran manusia; alam eksternal, tidak lain adalah himpunan obeyek di luar fikiran manusia; dan alam bahasa, tidak lain himpunan bahasa yang digunakan manusia. Dalam contoh di paragraf sebelumnya, keberadaan kucing di rumah merujuk pada suatu obyek dalam alam eksternal. Sedang keyakinan akan keberadaan kucing di fikiran merujuk pada alam mental. Dan pernyatan "Kucing ada di rumah" merujuk pada alam bahasa. Seseorang disebut absolutis, jika dan hanya jika, ia yakin ketiga alam tersebut, -mental, eksternal dan bahasa-, dalam kondisi tertentu, mungkin selaras. Artinya setiap hal yang ada di alam eksternal yang difikirkan oleh manusia mungkin ekivalen dengan fikiran manusia tentang hal itu. Lebih lanjut setiap hal dalam fikiran manusia yang dinyatakan dalam bahasa mungkin pula ekivalen dengan pernyataanya di alam bahasa. Dengan bahasa yang lebih mudah, absolutis yakin bahwa mental manusia mungkin mencapai kebenaran mutlak tentang suatu obyek nyata, dalam arti, sesuaatu "fikiran" atau "keyakinan" dalam alam mental disebut benar jika ia mencerminkan keadaan obyektif sebenarnya di alam eksternal. Lebih jauh, absolutis, yakin bahwa bahasa mungkin digunakan untuk menyatakan kebenaran tersebut. Sebaliknya seorang disebut relativis, jika dan hanya jika, ia bukan absolutis. Artinya, seorang disebut relativis jika salh satu aatau kedua kriteria di bawah ini terpenuhi; Ia yakin bahwa tidak mungkin apa yang ada di alam eksternal ini ekivalen dengan apa yang ada di alam mental. Ia yakin bahwa tidak mungkin menyatakan apa yang aada di alam mental dengan suatu bahasa yang akurat. Poin pertama menghancurkan hubungan antara alam mental manusia dengan alam eksternal. Artinya seluruh bangunan pengetahuan dan keyakinan manusia runtuh, karena semua pengetahuan dan keyakinan manusia tidak ekivalen dengan apa pun dalam realitas sebenarnya. Poin kedua menghancurkan kemungkinan untuk mengkomunikasikan pengetahuan dan keyakinan manusia apa pun. Relativisme sejati dalam defenisi seperti di atas tidak mempunyai signifikansi sedikitpun untuk di bahas, karena jelas semua proposisinya pun hancur. Kenapa? Karena seluruh bangunan pengetahuan dan keyakinan sendiri pun termasuk proposisi-nya (poin pertama dan poin kedua) tersebut tidak mewakili kenyataan apa pun (berdasar poin pertama), atu jika tidak, seluruh pengetahuan dan keyakinannya sendiri termasuk proposisi-nya (poin pertama dan kedua) tidak mungkin dikomunikasikan sama sekali (berdasar pon kedua). Filsafat barat modern menyandarkan dirinya dalam berbagai relativisme parsial yang akan diuraikan di bawah ini. Rene Descartes, yang sering disebut sebagai Bapak Filsafat Modern, mengatakan dalam "Le Discours de la Methode" : "Berhubung indra ada kalanya menipu kita, saya berniat menganggap bahwa apa yang biasa ditampilkan oleh indra kita itu sebenarnya tidak ada. Di samping itu, mengingat bahwa ada orang-orang yang keliru ketika menalar masalah geometri yang paling sederhana, sampai-sampai melakukan paralogi, serta mengingat pila bahwa saya sendiri pun mungkin keliru seperti yang lain, maka saya buang semua penalaran yang sebelumnya pernah saya buat sebagai pembuktian. Dan terakhir karena beranggapan bahwa sekua fikiran yang muncul pada waktu kita sadar dapat juga datang ketika sedang tidur tanpa ada yang benar satu pun. Saya memutuskan untuk berpendapat bahwa segala pendapat yang pernah terlintas dalam angan-angan tidal lebih benar daripada ilusi-ilusi dalam mimpi saya. Namun segera sesudahnya saya menyadari bahwa sementara saya berfikir bahwa semuanya tidak benar, saya sebagai yang memikirkanya haruslah merupakan sesuatu. Saya perhatikan bahwa kebenaran ini : Saya berfikir, jadi saya ada (Cogito ergo sum) begitu kokoh dan meyakinkan, sehingga anggapan kaum skeptis yang paling berlebihan-pun tidak mampu menggoyahkannya." Pertama, Descartes meyakini ketidak-absahan indera karena indera mungkin salah. Kedua, Descartes meyakini ketidak-absahan penalaran kerana penalaran mungkin salah. Ketiga, Descartes meyakini ketidak-absahan pemikiran karena fikiran tidak mampu membadakan yang khayal (atau mimpi) dan yang nyata. Jelas argumentasi Descartes ini salah. Kenapa? Pertama, karena argumentasi ini menghancurkan dirinya sendiri. Dengan tiga proposisi berturut-turut ini, jelas Hubungan antara alam eksternal dan alam fikiran manusia terputus total. Segala jenis penalaran apa [un nafi Segala jenis pemikiranapa pun tidak absah, Sehingga jika benar seseorang meyakini ketiga proposisi ini, tidak mungkin ia mempunyai pengetahuan ataupun keyakinan apa pun. Kedua, dalam tiap proposisi dalam argumentasi tersebut terdapat kesalahan pengambilan kesimpulan karena terlalu menggeneralisasi. Contohnya adalah proposisi pertama, karena indera mungkin salah, maka kita mesti meyakini bahwa indera mungkin salah, tidak bisa digeneralisasikan menjadi bahwa indera selalu salah sehingga ia tidak mingkin pula ia benar. Demikian pula terjadi pada proposisi kedua dan ketiga. Saya yakin Descartes sendiri tidak meyakini ketiga proposisi tersebut dalam artian yang hakiki. Contoh yang jelas adalah ketika Descartes menyatakan Cogito ergo sum (Aku berfikir, maka aku ada). Sebenarnya saat ini, Descaartes telah menggunakan metode penalaran silogisme Aristoteles; Premis minor : Sesuatu yang berfikir pasti ada. Premis minor : Aku befikir. Konklusi : Aku ada. Ini dapa dilihat langsung dalam pernyataan Descartes dalam dua paragraf berikutnya "La discours de la methode"; "Saya perhatikan bahwa dalam dalil "saya berfikir, jadi saya ada" tak ada suatu pun yang menjamin kebenarannya selain bahwa saya melihat dengan sangat jelas bahwa untuk berfikir saya harus ada." Analisa historis mungkin menjelaskan kenyataan bahwa mungkin bagi kita untuk memahami "kesalahan logika" Descartes sebagai upaya untuk melawan sketisisme yang merajalela saat itu. Lain lagi dengan Emmanuel Kant, yang membatasi alam eksternal di mana hukum logika berlaku. Menurut Kant; ilmu matematis memiliki kebenaran absolut, ilmu pengetahuan yang berasal dari pengalaman inderawi memiliki kebenaran relatif, dan subyek-subyek metafisika tak mungkin dicapai oleh akal manusia sama sekali. Pernyataan Kant ini mempunyai dua kemungkinan. Pertama, pernyataan bahwa suyek-subyek metafisika tak mungkin dicapai oleh akal manusia dalam arti harfiah. Tapi, bagaimana mungkin kita bisa menilai pernyataan Kant ini salah atau benar, sedang pernyataan itu sendiri menyangkut hal yang meta-fisis sehingga hal ini tak mungkin dicapai oleh akal kita sama sekali? Kedua, jika artinya subyek-subyek metafisika tak mungkin dibahasakan sama sekali oleh akal manusia. Dalam hal ini, karena proposisi hal ini pula termasuk hal yang metafisis, proposisi ini pun tak mungkin dibahasakan sama sekali. Jadi seharusnya biarkanlah proposisi ini melanglang buana dalam alam mental kita tanpa pernah dinyatakan bahkan oleh Kant sendiri. Relativisme parsial jenis lain mungkin seperti apa yang dinyatakan oleh Ludwig Wittgenstein dalam Tractatus -nya; "Sesuatu yang memang dapat dikatakan haruslah diungkapkan secara jelas, sedang sesuatu yang tidak dapat dikatakan sebaiknya didiamkan saja." Secara khusus, Wittgenstein menyebutkan tiga hal yang tidak dapat diungkapkan secara jelas - yang disebutnya sebagai The Mystical-, sehingga sebaiknya didiamkan saja, yaitu ; "Subyek tidak termasuk dalam lingkup dunia, melainkan hanya merupakan suatu batas dunia." "Kematian bukanlah merupakan suatu peristiwa kehidupan, sebab kematian itu bukan merupakan kehidupan yang dijalani." "Allah tidak menyatakan diri-Nya dalam dunia." Jadi, jika seseorang meyakini proposisi Wittgenstein tersebut, ia tidak akan pernah mempermasalahkan adanya dirinya sendiri sebagai subyek, ada atau tidaknya kematian bahkan ada atau tidaknya Tuhan. Relativisme parsial ala Wittgenstein tidak mengakui adanya alam mental, dan Wittgenstein langsung merelasikan alam kenyataan dengan alam bahasa. Lebih lanjut, ia membatasi alam eksternal yang dapat dirlasikan secara ekivalen dengan bahasa yang akurat, yaitu alam non-mistikal. Maka jika benar Wittgenstein berpendapat seperti ini, jelas pendapatnya salah. Kenapa? Karena argumentasinya menghancurkan dirinya sendiri. Pada saat Wittgeinstein membahas ketiga hal yang termasuk ke dalam The Mystcal, subyek, kematian, dan Allah, karena mereka semua tidak termasuk dalam lingkup dunia, maka dari-mana ia memperoleh kesimpula itu? Kalau dikatakan dari alam bahasa itu sendiri, bukankah menurutnya setiap proposisi harus jelas? Dan bukankah menurutnya setiap proposisi harus jelas? Dan bukankah menurutnya jelas adalah mewakili suatu keadaan faktual tertentu? Jadi secara otomatis, karena Wittgenstein memperoleh kesimpulan tentang subyek, kematian, dan Allah dari alam eksternalnya, ia musti memperolehnya dari alam mentalnya. Jadi argumentasi Wittgenstein memestikan keberadaan alam mental, minimal alam mentalnya sendiri. Proposisi, "Sesuatu yang memang dapat dikatakan haruslah diungkapkan secara jelas, sedang sesuatu yang tidak dapat dikatakan sebaiknya didiamkan saja," Ini sendri tidak jelas. Kenapa? Karena masih bisa dipertanyakan lagi apa arti jelas dan arti "jelas" bagi setiap orang relatif. Misalnya ; mungkin kata "gaya" jelas artinya bagi seorang fisikawan, tapi tidak jelas artinya bagi fisikawan lain. Misalnya lagi dapatkan Anda menjelaskan kepada sya kapan sebuah jambu yang dimakan seseorang masih disebut jambu atau sudah menjadi bukan jambu? Jadi karena arti "jelas" itu relatif, tentu ia tidak dijamin jelas artinya bagi setiap orang. Arinya proposisi ini sendiri, didiamkan saja. Didiamkan seperti rumput yang bergoyang. Keadaan orang yang meyakini paham relativis ini mengingatkan saya pada "Shummum bukmun ‘umyun fahum laa yarji’uun." (Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali). Relativis seolah kehilangan seluruh inderanya, karena mereka sendirilah yang menafikannya. Kemudian bagaimana mereka bisa mengreksi kebenaran seluruh pengetahuan dan keyakinannya? Kembali pada pembahasan semula, seorang yang meyakini pengetahuan ataupun keyakinan apapun mesti adalah absolutis. Kenapa? Karena jika ia tidak absolutis maka mustahil ia yakin apa pun yang ada dalam fikirannya mempuyai relasi dengan suatu yang benar-benar ada di alam nyata atau mustahil ia yakin bahwa ppernyataan keyakinan dalam alam bahasa sesuai dengan apa yang ada dalam fikirannya sendiri. Sehingga, ia tidak akan meyakini apapun atau walaupun meyakini terpaksa diam seribu bahasa akan keyakinannya tersebut. Sebagai penutup, saya mengajak anda semua merenungi; wa qul jaa ‘al-haqqa wa zahaaqal-baathil, innal baathila kaana zahuuqa. (Dan katakan, telah tiba kebenaran dan telah lenyap kebatilan, dan sesungguhnya kebatilan itu benar-benar sirna). Yang benar tetap benar, dan harus kita katakan benar. Yang salah tetap salah, dan mestilah sirna. Wallohu a’lam

No comments: